Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bissmillahirohmanirohim
Selamat siang pembaca Blogger STMIK MJ. Kali ini saya akan memposting tugas kuliah saya pada :
Mata Kuliah : Pengantar Studi Islam
Dosen : M. Zein Fitriansyah S.i
Tugas : UAS
Judul :"materi syiah"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat
dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan
Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap
kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita
saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali
tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas.
Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan
sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan
membahas pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya
sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai
Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang
Muslim.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian syiah ?
2. Bagaimanakan sejarah kemunculan syiah ?
3. Jelaskan karakteristik syiah dan pandangan ulama
sunni terhadap syiah ?
C. Tujuan
1.
Untuk menambah pengetahuan tentang ajaran Syi’ah.
2.
Untuk Mengetahui sejarah kemunculan syi’ah.
3.
Untuk Mengerti tentang karakteristik syi’ah dan
pangdangan sunni terhadap syi’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syi’ah
1. Syi’ah
adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi
Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti pengikut, atau kelompok
atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83 yang
artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).”[1]
2. Syi’ah
secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk
menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlulbait.
Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan
isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi
Muhammad—pen.) masih hidup.[2]
3. Syi’ah
adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak
menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw ialah keluarga Nabi saw
sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi
saw) dan ‘Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw)
beserta keturunannya.[3]
4. Perkataan
Syi’ah secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang
lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara khusus, perkataan “Syi’ah” mengandung
pengertian syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.[4]
5. Kata Syi’ah
menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan
lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang,
seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syi’ah digunakan
untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin Abi Thalib
karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.[5]
6. Secara
lingusitik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara
terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa
hanya Rasulullah saww (shallallâhu ‘alayhi wa âlihi wa sallam—pen.) yang berhak
menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.[6]
B. Sejarah Kemunculan
Syi’ah
Secara fisik, sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Akan
tetapi jika diteliti lebih dalam terutama dari sisi akidah, perbedaan di antara
keduanya ibarat minyak dan air. Secara fisik, sulit dibedakan antara
penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti lebih dalam terutama
dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga
tidak mungkin disatukan..
Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela
dan pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul
diatas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul
Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)
Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna
mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh
sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula
sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu
Hazm)
Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman
bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan
Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak
ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai
peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat
fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam
pun berpecah-belah.
Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah
akan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya
kepada Ali dan para pengikutnya.
Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.
- Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda:
.من بدل دينه
فاقتلوه
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia“
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia“
- Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
- Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,
خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم
عمر
“Sebaik-baik umat ini setelah
nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte
yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan
Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte
lainnya.
Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk
diangkat adalah sekte imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini
senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan
berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam
kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan
rezim Syah Reza Pahlevi.
Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan,
sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan
abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para
sahabat nabi.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah
bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka
adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul
‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin
‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak
kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud,
1/86)
Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid
bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia
mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun
mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka
beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
“Kalian tinggalkan aku?”
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan
Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul
Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari
negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang
menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan.
Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara
terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan
(imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib
karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan
mereka).
Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar
dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435,
Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan
suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah
seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke
waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap
berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau
bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri.
Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah
seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah
umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat
muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin
‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan
tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah
sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi
massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya,
sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat
diantara para sahabat pun terjadi. (Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil
‘Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
Al-Fauzan hlm. 123)
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu
Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana
keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling ringan kesalahannya.
C. KARAKTERISTIK SYIAH
Di dalam ajaran Sunni, perbedaan
pandangan terjadi pada aspek khilafiah atau masalah furu’fiyah saja yaitu
masalah fiqih di penerapan atau teknis. Untuk masalah-masalah dasar atau aqidah
tentu saja sunni tidak memilik perbedaan yang tajam. Hal ini tentu berbeda
dengan syiah. Rukun islam syiah sedikit berbeda dengan sunni.
- Rukun Islam Syiah
Rukun islam syiah yaitu melaksanakan
shalat, puasa, zakat, haji, dan al wilayah. Syahadat tidak tercantum dalam
rukun islam syiah. Syiah sendiri memiliki syahadat yang berbeda. Syiah yang
mana, sekte apa, tentu belum dapat dideteksi dengan jelas, namun perbedaan
kalimat syahadat ini seperti ada tambahan mengutuk sahabat-sahabat nabi seperti
Abu Bakar, Umar, Usman, dan istri nabi Aisyah. Selain itu, dalam pembacaan
syahadat, syiah juga menambahkan nama-nama imam mereka yang sejumlah 12 imam.
Hal tersebut sebagai tambahan dalam syahadat mereka yang tentu sangat berbeda
dengan sunni atau apa yang telah diajarkan Rasulullah.
- Rukun Iman Syiah
Rukun iman syiah tentu juga berbeda
dengan rukun islam sunni. Rukun iman syiah diantaranya adalah At Tauhid, An
Nubuwwah, Al Imamah, Al Adlu, Al Ma’ad. Al Imamah adalah iman kepada pemimpin
atau imam yang dipilih oleh orang-orang pembesar syiah. Tentu saja, imam ini
harus berasal dari Ahlul Bait atau keluarga Nabi yang dianggap suci dan tidak
pernah berdosa. Dalam hal ini umat islam sunni tidak sepakat dengan syiah karena rukun iman, rukun islam, Iman dalam Islam, Hubungan Akhlak Dengan Iman Islam
dan Ihsan, dan Hubungan Akhlak dengan Iman sunni
berbeda dalam hal isi dan bagiannya.
- Al Imamah
Salah satu Aqidah Syiah yang paling
penting bagi mereka adalah adanya imam yang wajib untuk ditaati. Kedua belas
imam itu termasuk dalam rukun iman dan rukun islam mereka. Mereka pun
menganggap bahwa imam mereka adalah maksum atau yang tidak pernah berbuat salah
dan dosa. Mereka mewarisi sifat-sifat nabi yang suci dan terbebas dari dosa. Hal
ini yang juga memiliki dampak bahwa mereka tidak mengakui kekhalifahan dari
sahabat-sahabat nabi seperti Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sedangkan Ali bin Abi
Thalib adalah imam yang sesungguhnya yang paling pantas untuk menggantikan Nabi
Muhammad.
Konsep Al Imamah ini tentu saja
perlu diperhatikan dan dikaji lebih mendalam apakah benar-benar sesuai dengan Tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai
dengan fungsi agama .
- Pandangan Terhadap Nikah Mut’ah
Syiah berpendapat bahwa nikah mut’ah
atau kontrak adalah perbuatan yang halal. Halalnya nikah mut’ah ini banyak
sekali dilakukan padahal pada zaman Ali bin Abi Thalib nikah seperti ini sudah
diharamkan. Untuk itu, hal ini bisa saja diselewengkan oleh orang-orang yang
mengingkan pergaulan bebas namun atas dasar nama islam.
- Taqiyah
Taqiyah berarti mengucapkan sesuatu
yang berbeda dengan isi. Syiah dalam hal ini senantiasa menyembunyikan
identitasnya untuk melindungi diri dari musuh atau lawan. Hal ini bisa dianggap
sebagai ibadah. Salah satu ulama syiah mengatakan (Muhammad Al Kulaini), “Bertaqwalah
kalian kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam agama kalian dan lindungilah agama
kalian dengan taqiyah, maka sesungguhnya tidaklah mempunyai keimanan orang yang
tidak bertaqiyah. Dia juga mengatakan “Siapa yang menyebarkan rahasia berarti
ia ragu dan siapa yang mengatakan kepada selain keluarganya berarti kafir.”
D. PANDANGAN ULAMA SUNNI TERHADAP SYIAH
Pandangan ulama terhadap sunni terhadap syiah sungguh
bermacam-macam. Hal ini tentu tergantung kepada masing-masing ilmu, pandangan,
dan kebijaksanaan dalam menghadapinya. Tidak semua ulamma memiliki pandangan
yang sama, termasuk masalah dalam perbedaan sunni dan syiah. Berikut adalah
beberapa jenis pandangan beberapa ulama terhadap syiah.
1. Ulama yang Menyerang dan Bersebrangan dengan Syiah
Ulama Sunni
banyak sekali yang menyerang dan bersebrangan dengan syiah. Hal ini jelas dan
tegas disampaikan oleh para ulama bahwa mereka aliran islam yang sesat,
bersebrangan aqidah, bahkan tergolong kepada kemunafikan atau kekafiran.
Ulama ini tentunya memiliki
pendasaran bahwa dalam hal rukun islam dan rukun iman saja, syiah sudah jauh
berbeda dengan sunni. Untuk itu, tidak bisa disamakan dengan sunni atau islam
pada umumnya. Ulama seperti ini tentu saja memiliki tujuan bahwa tidak ingin
islam dirusak atau diubah-ubah sesuai dengan pandangan atau kepentingan
tertentu yang merusak kemurnian islam.
- Ulama yang Menganggap Bahwa Sunni dan Syiah Masih dalam Aqidah yang Sama
Ulama sunni
ini beranggapan bahwa syiah masih dalam aqidah yang sama dengan sunni. Syiah
tidak memiliki perbedaan dalam aspek ketuhanan dan kenabian. Mereka menganggap
bahwa masih ada benang merah dan masih ada potensi untuk persatuan dalam sunni
dan syiah. Tentu saja ulama seperti ini sangat rawan dan mudah untuk dituduh
kembali sebagai syiah. Pandangannya sebetulnya hanya mengatakan bahwa syiah
masih beriman pada Allah SWT, Al-Quran, dan Rasul. Dalam aspek lainnya seperti
masalah sahabat rasul, masalah keluarga nabi, terjadi perbedaan yang cukup
tajam. Masalah sunni dan syiah bukanlah satu-satunya hal yang membuat ummat
islam harus hancur dan tercerai berai. Ada banyak cara agar masing-masing ummat
bisa maju dan berkembang mencapai sukses Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut
Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam. Jangan
sampai satu masalah ini dapat berakibat pada teralihnya fokus umat islam pada
sunni syiah, sedangkan ada banyak sekali musuh yang nyata, yang tidak disadari
meruntuhkan islam diam-diam.
E. TOKOH, SEKTE-SEKTE DAN AJARAN-AJARAN
SYIAH
1. Tokoh-Tokoh Syiah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain
terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali,
Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan
andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin
Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai
orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap
sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh
Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal,
secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena
itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas
al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut
Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang
menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna ‘Asyariyah.[11]
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin
terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin
‘Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah
satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam
bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.[12]
Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh
Syi’ah, di antaranya:
a. Nashr bin Muhazim
b. Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
c. Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
d. Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
e. Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
f. Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
g. Ali bin Babawaeh al-Qomi
h. Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
i. Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
j. Muhammad bin Hamam al-Iskafi
k. Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
l. Ibn Qawlawaeh al-Qomi[13]
m. Ayatullah Ruhullah Khomeini
n. Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
o. Sayyid Husseyn Fadhlullah
p. Murtadha Muthahhari
q. ‘Ali Syari’ati
r. Jalaluddin Rakhmat[14]
s. Hasan Abu Ammar[15]
2. Ajaran-Ajaran Syi’ah
a. Ahlulbait.
Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah
Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi
Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup
istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani
Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan,
Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk
terakhirlah yang lebih populer.[16]
b. Al-Badâ’.
Dari segi bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin al-badâ’ adalah keyakinan bahwa
Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah
ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan
keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang
sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai
pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far
al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui
sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu
bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena
adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara
sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah
mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi
Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.[17].
c. Asyura.
Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari
kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari
berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya
di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di
Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang
perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga
membaca salawat bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan
terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti
memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan
terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan
di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat,
dalam bentuk arak-arakan tabut.[18].
d. Imamah
(kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada
pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi.[19] Atau,
dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner
yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia
serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal
mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil
keputusan.[20] Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan
keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus
pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah,
penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi
berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah
langsung, yang lazim disebut nash.[21]
e. ‘Ishmah.
Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti
memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu,
termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan
salah atau lupa.[22] Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang
menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang
memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh
orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.[23].
f. Mahdawiyah.
Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru
selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi
ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas
sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna
‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari
(Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini
diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat
menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa
keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.[24]
g. Marja’iyyah
atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya
tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua
kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh berarti ahli fiqh
atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau
kepemimpinan para fuqaha.[25]
h. Raj’ah. Kata
raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah
keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh
dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan
kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.[26]
Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr[27] mendefinisikan raj’ah sebagai suatu
prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan
dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah,
setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama
makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk
memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam
kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.[28]
i.
Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata
taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi
menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa
dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan
ketidakterusterangan.[29] Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya
wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah.[30]
j.
Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan
menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali
suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul
merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan
bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya
tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait.
Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah
isyfa’î ‘indallâh” (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah),
dsb.[31]
k. Tawallî dan
tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat
seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an
fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua
sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis
yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarrî
dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang
berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka
hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang
membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan lindungilah orang yang
melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)[32]
3.Sekte-sekte Syi’ah
Para ahli umumnya membagi sekte
Syi’ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan
Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar
adalah golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah
golongan Isma’iliyah.[33]
Selain itu terdapat juga pendapat lain. Misalnya dari
al-Syahrastani. Beliau membagi Syi’ah ke dalam lima kelompok, yaitu Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat (Syi’ah sesat), dan Isma’iliyah.[34] Sedangkan
al-Asy’ari membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah,
yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi
menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.[35]
Joesoef So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan
Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte,
yaitu Sekte Imamiyah (yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna
‘Asyariyah), Zaidiyah, Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan
Fathimiyah.[36]
Sementara itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam
Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam,
mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci sebagai berikut:
a. Al-Ghaliyah:
Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah,
Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah,
Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah,
Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
b. Imamiyah:
Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah,
Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah,
Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah
(Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah
(Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah,
Yunusiah, Setaniyah.
c. Zaidiyah:
Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.[37]
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini
bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin
agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para
pengikut Syi’ah secara garis besar ada 11 macam, yaitu konsepsi tentang
Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah, ‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau
wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah, tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam
banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah
terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain
dalam memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas.
EmoticonEmoticon